Menurut DSM-V atau Diagnostic Statistical Manual – V, ASD atau autism spectrum disorder mempunyai beberapa karakteristik khas yang
terdiri dari ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi,
ketidakmampuan dalam timbal balik sosial emosional, dan perilaku terbatas yang
berulang[1]. Anak-anak
dengan ASD mempunyai karakteristik yang khas yang membedakannya dari diagnosa
yang lain seperti interaksi sosial yang amat kurang, repetitive behavior, ekolalia, dan komunikasi yang terbatas (Rapin
& Tuchman, 2008). Tidak hanya itu, dalam studi beberapa tahun terakhir, anak-anak
ini juga kerap mengalami gangguan tidur yang signifikan seperti parasomnia, sleep apnea, hingga night terrors (Patzold, Richdale, &
Tonge, 1998). Menurut Souders et al., (2009), anak-anak yang didiagnosa dengan ASD
mempunyai peluang lebih besar mengalami gangguan tidur, yakni sebesar 66.7
persen, data ini meliputi anak-anak dengan diagnosa PDD-NOS, Autisme, dan sindrom Asperger. Gangguan tidur yang paling
umum dialami adalah prolonged sleep
latency atau memanjangnya rentang waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, efisiensi
tidur yang menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun ketika tidur (Miano
& Ferri, 2010). Namun penyebabnya bervariasi dari satu kondisi ke kondisi
lainnya. Dalam studi yang dilakukan oleh Patzold, Richdale & Tonge (1998),
gangguan tidur yang dialami oleh anak dengan autisme mempunyai korelasi yang
signifikan dalam memperburuk masalah tingkah laku anak pada siang hari atau
waktu aktif, inilah yang kemudian secara tidak langsung berimbas kepada para orang
tua dan wali asuh mereka dalam bentuk stress yang ditimbulkan. Sehubungan
dengan itu, nyatanya berkurangnya waktu tidur total pada anak-anak dengan
autisme juga mempunyai korelasi yang negatif dengan kemampuan komunikasi anak
yang mana merupakan salah satu karakteristik khas dari ASD (Limoges, Mottron,
Bolduc, Berthiaume, & Godbout, 2005).
Siklus tidur normal manusia
Manusia
memiliki 4 tahapan tidur yang terdiri dari fase NREM (non-rapid eye movement)
dan REM (rapid eye movement) yang membentuk sebuah siklus[2],
menurut Carskadon dan Dement (2011), tahapan tidur pertama dapat berlangsung
dalam 1-7 menit dan pada tahapan ini menandai fase transisi menuju deep sleep, pada tahapan ini pula seseorang
sangat mudah terbangun dikarenakan arousal
threshold atau ambang stimuli yang teramat rendah, tahapan kedua masuk ke
dalam Non-Rapid Eye Movement (NREM), yang berlangsung lebih lama dan ditandai
dengan kehadiran sleep spindles dalam
Electroencephalogram, tahapan ketiga adalah dimana gelombang dengan voltase
tinggi muncul dalam EEG secara bertahap namun sebentar dan memasuki tahapan
terakhir, yang umumnya disebut sebagai delta
sleep atau deep sleep. Siklus
tidur dan bangun manusia bergantung pada
banyak faktor, salah satu contohnya ialan ritme circadian (circadian rhythms) yang bergantung pada kinerja suprachiasmatic nucleus di bagian hypothalamus,
ia menggunakan cahaya untuk mengatur sekresi hormone melatonin yang berperan
dalam siklus tidur-bangun manusia (Lewy, Wehr, Goodwin, Newsome & Markey,
1980).
(sumber: Google)
Siklus tidur pada anak-anak dengan ASD
Berbeda dari siklus tidur yang normal pada umumnya, sebelum
studi tentang gangguan tidur pada anak dengan ASD dilaksanakan, Richdale dan
Schrek (2009), melakukan preliminary test
kepada anak-anak tersebut melalui data survey yang diperoleh dari orang tua mereka
dengan menggunakan CHSQ atau Children’s Sleep Habit Questionnaire. Hal ini juga
diperkuat dengan tingginya prevalensi gangguan tidur pada anak yang memiliki
diagnosis ASD dibandingkan dengan anak dengan pertumbuhan normal, yakni sebesar
73% berbanding dengan 50% (Allik, Larsson & Smedje, 2006 ; Pollimeni et
al., 2005).
Dalam perspektif neurobiologis, hormon GABA
(Gamma amino butyric acid) dan melatonin berperan penting dalam siklus
tidur-bangun seseorang, namun pada anak dengan autisme, sistem yang mengatur
sekresi hormon-hormon ini mengalami ketidakseimbangan sehingga mengakibatkan terganggunya
siklus tidur anak (Johnson & Malow, 2008). Selain itu, faktor lingkungan
seperti sleep hygiene atau tidak
higienisnya lingkungan tidur sang anak, faktor komorbid Autisme seperti
kecemasan, dan pengobatan contohnya adalah efek samping obat clonazepam yang justru menjadi
katalisator pada RBD atau REM Behavior
Disorder. Kombinasi
faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi
terhadap panjangnya sleep onset pada
anak dengan ASD.
Peran Polisomnography dan actigraphy dalam etiologi
gangguan tidur pada anak ASD
Kemajuan
dalam bidang teknologi banyak membantu penelitian-penelitian tentang gangguan
tidur, terutama dikalangan anak-anak penderita autisme, seperti actigraphy dan polisomnografi, dengan
tambahan berbagai screening test, keduanya
umum digunakan sebagai sarana untuk mempelajari gangguan tidur. Polysomnography
dan actigraphy adalah salah satu alat yang sering difungsikan dalam studi
tentang gangguan tidur, keduanya mempunyai mekanisme yang hampir serupa, yaitu
merekam kegiatan otak selama beraktifitas dan beristirahat (Blackwell et al.,
2008). Polisomnografi bekerja dengan cara memonitor beberapa fungsi sekaligus
contohnya kadar oksigen dalam darah, gelombang otak (EEG), pergerakan mata,
denyut jantung dan kadar udara masuk dan keluar saat bernapas[1],
bersamaan dengan data dari screening test
lain seperti CHSQ, actigraphy ,
dan sleep diary, data ini selanjutnya
akan diolah dan diintegrasikan untuk mendapatkan kesimpulan.
Referensi
Allik, H., Larsson, J., &
Smedje, H. (2006). Parental Pediatric Sleep Questionnaire. PsycTESTS
Dataset. doi:10.1037/t12317-000
Carskadon, M. A., & Dement, W. C.
(2011). Normal Human Sleep. Principles and Practice of Sleep Medicine, 16-26.
doi:10.1016/b978-1-4160-6645-3.00002-5
Johnson, K. P., &
Malow, B. A. (2008). Sleep in children with autism spectrum
disorders. Current Neurology and Neuroscience Reports, 8(2), 155-161.
doi:10.1007/s11910-008-0025-y
Limoges, É., Mottron, L.,
Bolduc, C., Berthiaume, C., & Godbout, R. (2005). Sleep
Habits Questionnaire. PsycTESTS Dataset. doi:10.1037/t29770-000
Lewy, A., Wehr, T.,
Goodwin, F., Newsome, D., & Markey, S. (1980). Light
suppresses melatonin secretion in humans. Science, 210(4475), 1267-1269.
doi:10.1126/science.7434030
Miano, S., & Ferri, R.
(2010). Epidemiology and Management of Insomnia in Children with Autistic
Spectrum Disorders. Pediatric Drugs, 12(2), 75-84.
doi:10.2165/11316140-000000000-00000
PATZOLD, RICHDALE, & TONGE. (1998).
An investigation into sleep characteristics of children with autism and
Asperger's Disorder. Journal of Paediatrics and Child Health, 34(6), 528-533.
doi:10.1046/j.1440-1754.1998.00291.x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar