Kamis, 07 September 2017

Gangguan Tidur Pada Anak Berkebutuhan Khusus

 
Menurut DSM-V atau Diagnostic Statistical Manual – V, ASD atau autism spectrum disorder mempunyai beberapa karakteristik khas yang terdiri dari ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi, ketidakmampuan dalam timbal balik sosial emosional, dan perilaku terbatas yang berulang[1]. Anak-anak dengan ASD mempunyai karakteristik yang khas yang membedakannya dari diagnosa yang lain seperti interaksi sosial yang amat kurang, repetitive behavior, ekolalia, dan komunikasi yang terbatas (Rapin & Tuchman, 2008). Tidak hanya itu, dalam studi beberapa tahun terakhir, anak-anak ini juga kerap mengalami gangguan tidur yang signifikan seperti parasomnia, sleep apnea, hingga night terrors (Patzold, Richdale, & Tonge, 1998). Menurut Souders et al., (2009), anak-anak yang didiagnosa dengan ASD mempunyai peluang lebih besar mengalami gangguan tidur, yakni sebesar 66.7 persen, data ini meliputi anak-anak dengan diagnosa PDD-NOS, Autisme, dan  sindrom Asperger. Gangguan tidur yang paling umum dialami adalah prolonged sleep latency atau memanjangnya rentang waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, efisiensi tidur yang menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun ketika tidur (Miano & Ferri, 2010). Namun penyebabnya bervariasi dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Dalam studi yang dilakukan oleh Patzold, Richdale & Tonge (1998), gangguan tidur yang dialami oleh anak dengan autisme mempunyai korelasi yang signifikan dalam memperburuk masalah tingkah laku anak pada siang hari atau waktu aktif, inilah yang kemudian secara tidak langsung berimbas kepada para orang tua dan wali asuh mereka dalam bentuk stress yang ditimbulkan. Sehubungan dengan itu, nyatanya berkurangnya waktu tidur total pada anak-anak dengan autisme juga mempunyai korelasi yang negatif dengan kemampuan komunikasi anak yang mana merupakan salah satu karakteristik khas dari ASD (Limoges, Mottron, Bolduc, Berthiaume, & Godbout, 2005).
Siklus tidur normal manusia
            Manusia memiliki 4 tahapan tidur yang terdiri dari fase NREM (non-rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement) yang membentuk sebuah siklus[2], menurut Carskadon dan Dement (2011), tahapan tidur pertama dapat berlangsung dalam 1-7 menit dan pada tahapan ini menandai fase transisi menuju deep sleep, pada tahapan ini pula seseorang sangat mudah terbangun dikarenakan arousal threshold atau ambang stimuli yang teramat rendah, tahapan kedua masuk ke dalam Non-Rapid Eye Movement (NREM), yang berlangsung lebih lama dan ditandai dengan kehadiran sleep spindles dalam Electroencephalogram, tahapan ketiga adalah dimana gelombang dengan voltase tinggi muncul dalam EEG secara bertahap namun sebentar dan memasuki tahapan terakhir, yang umumnya disebut sebagai delta sleep atau deep sleep. Siklus tidur dan bangun  manusia bergantung pada banyak faktor, salah satu contohnya ialan ritme circadian (circadian rhythms) yang bergantung pada kinerja suprachiasmatic nucleus  di bagian hypothalamus, ia menggunakan cahaya untuk mengatur sekresi hormone melatonin yang berperan dalam siklus tidur-bangun manusia (Lewy, Wehr, Goodwin, Newsome & Markey, 1980).
(sumber: Google)

Siklus tidur pada anak-anak dengan ASD
Berbeda dari siklus tidur yang normal pada umumnya, sebelum studi tentang gangguan tidur pada anak dengan ASD dilaksanakan, Richdale dan Schrek (2009), melakukan preliminary test kepada anak-anak tersebut melalui data  survey yang diperoleh dari orang tua mereka dengan menggunakan CHSQ atau Children’s Sleep Habit Questionnaire. Hal ini juga diperkuat dengan tingginya prevalensi gangguan tidur pada anak yang memiliki diagnosis ASD dibandingkan dengan anak dengan pertumbuhan normal, yakni sebesar 73% berbanding dengan 50% (Allik, Larsson & Smedje, 2006 ; Pollimeni et al., 2005).
Dalam perspektif neurobiologis, hormon GABA (Gamma amino butyric acid) dan melatonin berperan penting dalam siklus tidur-bangun seseorang, namun pada anak dengan autisme, sistem yang mengatur sekresi hormon-hormon ini mengalami ketidakseimbangan sehingga mengakibatkan terganggunya siklus tidur anak (Johnson & Malow, 2008). Selain itu, faktor lingkungan seperti sleep hygiene atau tidak higienisnya lingkungan tidur sang anak, faktor komorbid Autisme seperti kecemasan, dan pengobatan contohnya adalah efek samping obat clonazepam yang justru menjadi katalisator pada RBD atau REM Behavior Disorder. Kombinasi   


faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi terhadap panjangnya sleep onset pada anak dengan ASD.



Peran Polisomnography dan actigraphy dalam etiologi gangguan tidur pada anak ASD
            Kemajuan dalam bidang teknologi banyak membantu penelitian-penelitian tentang gangguan tidur, terutama dikalangan anak-anak penderita autisme, seperti actigraphy dan polisomnografi, dengan tambahan berbagai screening test, keduanya umum digunakan sebagai sarana untuk mempelajari gangguan tidur. Polysomnography dan actigraphy adalah salah satu alat yang sering difungsikan dalam studi tentang gangguan tidur, keduanya mempunyai mekanisme yang hampir serupa, yaitu merekam kegiatan otak selama beraktifitas dan beristirahat (Blackwell et al., 2008). Polisomnografi bekerja dengan cara memonitor beberapa fungsi sekaligus contohnya kadar oksigen dalam darah, gelombang otak (EEG), pergerakan mata, denyut jantung dan kadar udara masuk dan keluar saat bernapas[1], bersamaan dengan data dari screening test lain seperti CHSQ, actigraphy , dan sleep diary, data ini selanjutnya akan diolah dan diintegrasikan untuk mendapatkan kesimpulan.
Referensi
Allik, H., Larsson, J., & Smedje, H. (2006). Parental Pediatric Sleep Questionnaire. PsycTESTS Dataset. doi:10.1037/t12317-000
Carskadon, M. A., & Dement, W. C. (2011). Normal Human Sleep. Principles and Practice of Sleep Medicine, 16-26. doi:10.1016/b978-1-4160-6645-3.00002-5
Johnson, K. P., & Malow, B. A. (2008). Sleep in children with autism spectrum disorders. Current Neurology and Neuroscience Reports, 8(2), 155-161. doi:10.1007/s11910-008-0025-y
Limoges, É., Mottron, L., Bolduc, C., Berthiaume, C., & Godbout, R. (2005). Sleep Habits Questionnaire. PsycTESTS Dataset. doi:10.1037/t29770-000
Lewy, A., Wehr, T., Goodwin, F., Newsome, D., & Markey, S. (1980). Light suppresses melatonin secretion in humans. Science, 210(4475), 1267-1269. doi:10.1126/science.7434030
Miano, S., & Ferri, R. (2010). Epidemiology and Management of Insomnia in Children with Autistic Spectrum Disorders. Pediatric Drugs, 12(2), 75-84. doi:10.2165/11316140-000000000-00000
PATZOLD, RICHDALE, & TONGE. (1998). An investigation into sleep characteristics of children with autism and Asperger's Disorder. Journal of Paediatrics and Child Health, 34(6), 528-533. doi:10.1046/j.1440-1754.1998.00291.x



 















Tidak ada komentar:

Posting Komentar