ADHD atau Attention Deficit
Hyperactivity Disorder adalah gangguan perilaku yang ditandai dengan gejala
inatensi, inpulsif dan hiperaktifitas. ADHD pertama kali diteliti oleh Heinrich
Hoffman pada tahun 1863. Hoffman mendeskripsikan gangguan prilaku sebagai
berikut: “Sebagai anak yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti walaupun
telah ditegur oleh ayah dan ibunya; seolah-olah dia tidak mendengar nasehat
orangtuanya. Anggota tubuhnya tidak pernah diam, berputar kesana kemari,
naik-turun kursi dan meja, tidak ada hentinya dan tidak mempedulikan
sekitarnya, sehingga orangtuanya tidak dapat menahan diri lagi melihat keadaan
anaknya seperti itu.” Hoffman memberi julukan, Fidgety Phil (Phil yang tidak bisa diam).
Pada periode 1960-1970, Chess memberikan definisi hiperaktivitas: Anak
yang hiperaktif adalah anak yang menunjukkan aktivitas berlebihan, lebih tinggi
dari kecepatan normal pada anak umumnya atau anak yang selalu dalam keadaan
bergerak atau keduanya.
Pada tahun 1968 secara resmi definisi hiperaktivitas dicantumkan dalam
nomenklatur Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders edisi II sebagai hyperkinetic reaction of childhood disorder.
Pengertian DSM II sejalan dengan pandangan Chess: “Gangguan ini memiliki
karakteristik aktivitas berlebihan, tidak bisa diam, perhatiannya mudah beralih
dan rentang
perhatian pendek, terutama didapatkan pada anak usia dini, perilaku
tersebut berkurang pada saat usia remaja.”
Di kurun waktu 1970-1980 pada periode ini terdapat 2000 laporan ilmiah
mengenai gangguan hiperaktivitas pada anak. Douglas menyimpulkan hiperaktivitas
dijelaskan dengan empat defisit utama:
1.
Pemusatan (investment), penataan (organization),
pemeliharaan (maintanance), perhatian
dan usaha (effort);
2.
Hambatan (inhibitation)
terhadap respons impulsif;
3.
Pengaturan gairah (arousal) untuk memenuhi tuntutan situasi;
4.
Dorongan kuat mencari kepuasan segera yang tidak
biasa.
Hal ini yang mempengaruhi pada DSM III, nama gangguan tersebut diganti
menjadi gangguan perhatian (Attention
Deficit Disorder (ADD), American Psychiatric Association, 1980).
Di kurun waktu 1980-1990, tepatnya tahun 1987 pendefinisian ADD berubah
menjadi Attention Deficit Hyperactivity (ADHD).
DSM III pun disempurnakan menjadi DSM III-R
dengan perbedaan diagnosis sebagai berikut:
1.
Kelompok gejala dan cutoff scores yang tunggal diganti
menjadi tiga kelompok gejala dan cutoff
scores yang terpisah, yaitu tidak mampu memusatkan perhatian, hiperativitas
dan impulsivitas;
2.
Daftar kelompok gejala tersebut
berasal dari prilaku anak, sedangkan butir-butir gejala tersebut dan cutoff
scores ditentukan oleh hasil penelitian di lapangan berdasarkan sensifitas,
spesifitas dan kekuatan pembeda untuk dapat membedakan antara gangguan ini
dengan gangguan psikiatrik lain dan kelompok normal;
3.
Penetapan gejala juga ditentukan
oleh ketidaksesuaian dengan usia mental dari anak tersebut;
4.
Didapatkannya gangguan afektif
bersama dengan gangguan ini tidak dijadikan pertimbangan criteria eksklusif;
5.
Tidak didapatkan subtype gangguan
pemusatan perhatian tanpa hiperaktivitas atau GPP-H, kelompok ini dikategorikan
sebagai undifferentiated ADHD, yaitu
kelompok yang gejalanya tidak jelas atau kabur.
Pada kurun waktu 1990-1998, DSM III-R berkembang menjadi DSM-IV. Menurut
kriteria diagnosis DSM IV gangguan ini dibagi menjadi tiga subtipe: subtipe
tidak mampu memusatkan perhatian, subtipe hiperaktivitas-impulsivitas dan
subtipe kombinasi.
Menurut DSM IV terdapat lima kriteria utama yang harus dipenuhi untuk
membuat diagnosis gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas, yaitu:
1.
Didapatkan adanya gejala utama
yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dengan atau tanpa hiperaktivitas yang
impulsif, dengan frekuensi dan srajat keparahan yang tidak sesuai dengan
tingkat perkembangannya. Kedua ciri utama itu terpisah dan berdiri sendiri;
2.
Gejala tersebut menimbulkan hendaya sejak anak
belum berusia tujuh tahun;
3.
Hendaya yang ditimbulkan oleh
gangguan ini terjadi pada lebih dari dua situasi (di rumah, di sekolah atau di
tempat kerja);
4.
Hendaya tersebut menimbulkan
masalah atau mengakibatkan kegagalan dalam relasi sosial dengan anak lain,
penampilan akademik atau fungsi okupasional lainnya:
5.
Gejala yang didapatkan tidak
disebabkan oleh gangguan mental lain seperti gangguan pervasif, skizoferenia
atau gangguan psikotik lainnya, gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan
disasosiatif dan gangguan kepribadian.
ADHD di
Indonesia
Untuk Indonesia jumlah anak ADHD masih belum
terdata secara lengkap, meski sebenarnya kelainan ini tampak cukup banyak
terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah.
Menurut Saputro, pada tahun 2005 di Indonesia,
populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta
anak mengalami ADHD. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru
ADHD sebanyak 9000 kasus. Terdapat kecenderungan anak laki-laki lebih sering
mengidap ADHD dibandingkan dengan anak perempuan. Secara epidemiologis rasion
kejadian dengan perbandingan 4 : 1.
Perkembangan ADHD semakin banyak terutama di kota-kota besar. Salah
satunya adalah kota Jakarta. Menurut Saputro S, di tahun 2009 terjadi 26,1%
angka kejadian ADHD. Jumlah ini cukup besar, mengingat jumlah anak-anak yang
cukup tinggi di Jakarta.
Di klinik kami (Talenta) kami menangani berbagai macam anak ADHD dari
berbagai sekolah yang berafilisiasi dengan kami. Fenomena ini tentu menarik
dicermati, karena pada dekade 80 sampai dengan 90-an fenomena ADHD tidak
sebanyak seperti sekarang.
Banyak orangtua dan terapis yang tidak memahami ADHD dengan baik
sehingga perlakuan dan cara penanganannya pun terkadang disamakan dengan
penderita autisme. Padahal penanaganan yang salah akan berdampak tidak baik
pada anak ADHD.
Dr. Suzy Yusna Dewi, dr, SpKJ(K)
Dewi, SY : Startegi & Metode belajar untuk anak ADHD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar