Rabu, 09 Agustus 2017

Pengenalan ADHD



ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder adalah gangguan perilaku yang ditandai dengan gejala inatensi, inpulsif dan hiperaktifitas. ADHD pertama kali diteliti oleh Heinrich Hoffman pada tahun 1863. Hoffman mendeskripsikan gangguan prilaku sebagai berikut: “Sebagai anak yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti walaupun telah ditegur oleh ayah dan ibunya; seolah-olah dia tidak mendengar nasehat orangtuanya. Anggota tubuhnya tidak pernah diam, berputar kesana kemari, naik-turun kursi dan meja, tidak ada hentinya dan tidak mempedulikan sekitarnya, sehingga orangtuanya tidak dapat menahan diri lagi melihat keadaan anaknya seperti itu.” Hoffman memberi julukan, Fidgety Phil (Phil yang tidak bisa diam).

Pada periode 1960-1970, Chess memberikan definisi hiperaktivitas: Anak yang hiperaktif adalah anak yang menunjukkan aktivitas berlebihan, lebih tinggi dari kecepatan normal pada anak umumnya atau anak yang selalu dalam keadaan bergerak atau keduanya.

Pada tahun 1968 secara resmi definisi hiperaktivitas dicantumkan dalam nomenklatur Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi II sebagai hyperkinetic reaction of childhood disorder.

Pengertian DSM II sejalan dengan pandangan Chess: “Gangguan ini memiliki karakteristik aktivitas berlebihan, tidak bisa diam, perhatiannya mudah beralih dan rentang


perhatian pendek, terutama didapatkan pada anak usia dini, perilaku tersebut berkurang pada saat usia remaja.”

Di kurun waktu 1970-1980 pada periode ini terdapat 2000 laporan ilmiah mengenai gangguan hiperaktivitas pada anak. Douglas menyimpulkan hiperaktivitas dijelaskan dengan empat defisit utama:

1.                  Pemusatan (investment), penataan (organization), pemeliharaan (maintanance), perhatian dan usaha (effort);

2.                  Hambatan (inhibitation) terhadap respons impulsif;

3.                  Pengaturan gairah (arousal) untuk memenuhi tuntutan situasi;

4.                  Dorongan kuat mencari kepuasan segera yang tidak biasa.

Hal ini yang mempengaruhi pada DSM III, nama gangguan tersebut diganti menjadi gangguan perhatian (Attention Deficit Disorder (ADD), American Psychiatric Association, 1980).

Di kurun waktu 1980-1990, tepatnya tahun 1987 pendefinisian ADD berubah menjadi Attention Deficit Hyperactivity (ADHD). DSM III pun disempurnakan menjadi DSM III-R dengan perbedaan diagnosis sebagai berikut:

1.                  Kelompok gejala dan cutoff scores yang tunggal diganti menjadi tiga kelompok gejala dan cutoff scores yang terpisah, yaitu tidak mampu memusatkan perhatian, hiperativitas dan impulsivitas;

2.                  Daftar kelompok gejala tersebut berasal dari prilaku anak, sedangkan butir-butir gejala tersebut dan cutoff scores ditentukan oleh hasil penelitian di lapangan berdasarkan sensifitas, spesifitas dan kekuatan pembeda untuk dapat membedakan antara gangguan ini dengan gangguan psikiatrik lain dan kelompok normal;

3.                  Penetapan gejala juga ditentukan oleh ketidaksesuaian dengan usia mental dari anak tersebut;

4.                  Didapatkannya gangguan afektif bersama dengan gangguan ini tidak dijadikan pertimbangan criteria eksklusif;

5.                  Tidak didapatkan subtype gangguan pemusatan perhatian tanpa hiperaktivitas atau GPP-H, kelompok ini dikategorikan sebagai undifferentiated ADHD, yaitu kelompok yang gejalanya tidak jelas atau kabur.


Pada kurun waktu 1990-1998, DSM III-R berkembang menjadi DSM-IV. Menurut kriteria diagnosis DSM IV gangguan ini dibagi menjadi tiga subtipe: subtipe tidak mampu memusatkan perhatian, subtipe hiperaktivitas-impulsivitas dan subtipe kombinasi.

Menurut DSM IV terdapat lima kriteria utama yang harus dipenuhi untuk membuat diagnosis gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas, yaitu:

1.                  Didapatkan adanya gejala utama yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dengan atau tanpa hiperaktivitas yang impulsif, dengan frekuensi dan srajat keparahan yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Kedua ciri utama itu terpisah dan berdiri sendiri;

2.                  Gejala tersebut menimbulkan hendaya sejak anak belum berusia tujuh tahun;

3.                  Hendaya yang ditimbulkan oleh gangguan ini terjadi pada lebih dari dua situasi (di rumah, di sekolah atau di tempat kerja);

4.                  Hendaya tersebut menimbulkan masalah atau mengakibatkan kegagalan dalam relasi sosial dengan anak lain, penampilan akademik atau fungsi okupasional lainnya:

5.                  Gejala yang didapatkan tidak disebabkan oleh gangguan mental lain seperti gangguan pervasif, skizoferenia atau gangguan psikotik lainnya, gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan disasosiatif dan gangguan kepribadian.


ADHD di Indonesia

Untuk Indonesia jumlah anak ADHD masih belum terdata secara lengkap, meski sebenarnya kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah.

Menurut Saputro, pada tahun 2005 di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak mengalami ADHD. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Terdapat kecenderungan anak laki-laki lebih sering mengidap ADHD dibandingkan dengan anak perempuan. Secara epidemiologis rasion kejadian dengan perbandingan 4 : 1.

ADHD di Jakarta


Perkembangan ADHD semakin banyak terutama di kota-kota besar. Salah satunya adalah kota Jakarta. Menurut Saputro S, di tahun 2009 terjadi 26,1% angka kejadian ADHD. Jumlah ini cukup besar, mengingat jumlah anak-anak yang cukup tinggi di Jakarta.

Di klinik kami (Talenta) kami menangani berbagai macam anak ADHD dari berbagai sekolah yang berafilisiasi dengan kami. Fenomena ini tentu menarik dicermati, karena pada dekade 80 sampai dengan 90-an fenomena ADHD tidak sebanyak seperti sekarang.

Banyak orangtua dan terapis yang tidak memahami ADHD dengan baik sehingga perlakuan dan cara penanganannya pun terkadang disamakan dengan penderita autisme. Padahal penanaganan yang salah akan berdampak tidak baik pada anak ADHD.

Akan banyak masalah yang ditimbulkan ketika orangtua/terapis salah memperlakukan anak ADHD, salah satu yang paling fatal, anak menjadi hilang kontrol dan tantrum. Jadi bagaimana kita mengenali gejala ADHD pada anak? Mari kita bahas di bab selanjutnya.

Dr. Suzy Yusna Dewi, dr, SpKJ(K)



Dewi, SY : Startegi & Metode belajar untuk anak ADHD 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar